Tempat berbagi Cerita & Foto Sex, Dewasa, ABG, HOT, Tips Bercinta : Cerita Seks Libido yang Besar. Aku sudah berkeluarga dan mempunyai 2 anak yang cantik dan ganteng, anak yang pertama masih kelas 2 SMP sedangkan anak ke dua masih 3 SD, saat ini aku berumur 38 tahun aku mempunyai istri yang lebih muda dari saya, aku bekerja di sebeuh telekomunikasi, sedangkan istri saya berkarier sebagai pegawai farmasi.
Istriku orangnya setia kami saling mencintai aku juga setia kepada istri saya, tapi kalo soal sex aku memang suka berselingkuh,setia ku hanya unutk istriku tapi untuk soal sex bisa ke semua wanita yang aku taksir, aku memiliki libido yang tinggi sehingga istri saya tidak cukup untuk melayaninafsu seks ku yang besar. Saya menginginkan hubungan paling tidak dua kali dalam seminggu.

Tetapi istri saya menganggap sekali dalam seminggu sudah berlebihan. Dia pernah bilang kepada saya, "Lebih enak hubungan sekali dalam sebulan." Tiap kali hubungan kami mencapai orgasme bersama-sama. Jadi sebenarnya tidak ada masalah dengan saya.

Rendahnya minat istri saya itu dikarenakan dia terlalu terkuras tenaga dan pikirannya untuk urusan kantor. Dia berangkat ke kantor pukul 07.30 dan pulang lepas Maghrib. Sampai di rumah sudah lesu dan sekitar pukul 20.00 dia sudah terlelap, meninggalkan saya kekeringan.

Kalau sudah begitu biasanya saya melakukan onani. Tentu tanpa sepengetahuan dia, karena malu kalau ketahuan. Selama perkawinan kami sudah tak terhitung berapa kali saya berselingkuh. Kalau istri saya tahu, saya tak bisa membayangkan akan seperti apa neraka yang diciptakannya

 Bukan apa-apa. Perempuan-perempuan yang saya tiduri adalah mereka yang sangat dekat dengan dia. Saya menyimpan rapat rahasia itu. Sampai kini. Itu karena saya melakukan persetubuhan hanya sekali terhadap seorang perempuan yang sama. Saya tak mau mengulanginya. Saya khawatir, pengulangan bakal melibatkan perasaan.

Padahal yang saya inginkan cuma persetubuhan fisik. Bukan hati dan perasaan. Saya berusaha mengindarinya sebisa mungkin, dan memberi kesan kepada si perempuan bahwa semua yang terjadi adalah kekeliruan. Memang ada beberapa perempuan sebagai perkecualian yang nanti akan saya ceritakan.

Perempuan pertama yang saya tiduri semenjak menikah tidak lain adalah kakak istri saya. Oh ya, istri saya merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Semuanya perempuan. Istri saya sebut saja bernama Evi.

Kedua kakak Evi sudah menikah dan punya anak. Mereka keluarga bahagia semuanya, dan telah memiliki tempat tinggal masing-masing. Hanya saya dan istri yang ikut mertua dua tahun pertama perkawinan kami. Setiap minggu keluarga besar istri saya berkumpul. Mereka keluarga yang hangat dan saling menyayangi.

Mbak Raina, kakak istri saya ini adalah seorang perempuan yang dominan. Dia terlihat sangat menguasai suaminya. Saya sering melihat Mbak Raina menghardik suaminya yang berpenampilan culun. Suami Mbak Raina sering berkeluh-kesah dengan saya tentang sikap istrinya.

Tetapi kepada orang lain Mbak Raina sangat ramah, termasuk kepada saya. Dia bahkan sangat baik. Mbak Raina sering datang bersama kedua anaknya berkunjung ke rumah orang tuanya -yang artinya rumah saya juga- tanpa suaminya. Kadang-kadang sebagai basa-basi saya bertanya, "Kenapa Mas Wid tidak diajak?" "Ahh malas saya ngajak dia," jawabnya.

Saya tak pernah bertanya lebih jauh. Seringkali saat Mbak Raina datang dan menginap, pas istri saya sedang tugas luar kota. Istri saya dua minggu sekali keluar kota saat itu.

Dia adalah seorang detailer yang gigih dan ambisius. Jika sudah demikian biasanya ibu mertua saya yang menyiapkan kopi buat saya, atau makan pagi dan makan malam. Tapi jika pas ada Mbak Raina, ya si Mbak inilah yang menggantikan tugas ibu mertua. Tak jarang Mbak Raina menemani saya makan.

Karena seringnya bertemu, maka saya pun mulai dirasuki pikiran kotor. Saya sering membayangkan bisa tidur dengan Mbak Raina. Tapi mustahil. Mbak Raina tidak menunjukkan tipe perempuan yang gampang diajak tidur. Karenanya saya hanya bisa membayangkannya. Apalagi kalau pas hasrat menggejolak sementara istri saya up country. Aduhh, tersiksa sekali rasanya.

Dan sore itu, sehabis mandi keramas saya mengeringkan rambut dengan kipas angin di dalam kamar. Saya hanya bercelana dalam ketika Mbak Raina mendadak membuka pintu. "Kopinya Dik Fredo." Saya terkejut, dan Mbak Raina buru-buru menutup pintu ketika melihat sebelah tangan saya berada di dalam celana dalam, sementara satu tangan lain mengibas-ibas rambut di depan kipas angin. Saya malu awalnya.

Tetapi kemudian berpikir, apa yang terjadi seandainya Mbak Raina melihat saya bugil ketika penis saya sedang tegang? Pikiran itu terus mengusik saya. Peristiwa membuka pintu kamar dengan mendadak bukan hal yang tidak mungkin. Adik-adik dan kakak-kakak istri saya memang terbiasa begitu. Mereka sepertinya tidak menganggap masalah. Seolah kamar kami adalah kamar mereka juga.

Adik istri saya yang bungsu (masih kelas II SMU, sebut saja Vira) bahkan pernah menyerobot masuk begitu saja ketika saya sedang bergumul dengan istri saya. Untung saat itu kami tidak sedang bugil.

Tapi dia sendiri yang malu, dan berhari-hari meledek kami. Sejak peristiwa Mbak Raina membuka pintu itu, saya jadi sering memasang diri, tiduran di dalam kamar dengan hanya bercelana dalam sambil coli (onani). Saya hanya ingin menjaga supaya penis saya tegang, dan berharap saat itu Mbak Raina masuk.

Saya rebahan sambil membaca majalah. Sialnya, yang saya incar tidak pernah datang. Sekali waktu malah si Vira yang masuk buat meminjam lipstik istri saya. Ini memang sudah biasa. Buru-buru saya tutupkan CD saya. Tapi rupanya mata Vira keburu melihat.

"Woww, indahnya." Dia tampak cengengesan sambil memolesi bibirnya dengan gincu. "Mau kemana?" tanya saya. "Nggak. Pengin makai lipstik aja." Saya meneruskan membaca. "Coli ya Mas?" katanya. Gadis ini memang manja, dan sangat terbuka dengan saya. Ketika saya masih berpacaran dengan istri saya, kemanjaannya bahkan luar biasa. Tak jarang kalau saya datang dia menggelendot di punggung saya.

Tentu saya tak punya pikiran apa-apa. Dia kan masih kecil waktu itu. Tapi sekarang. Ahh. Tiba-tiba saya memperhatikannya. Dia sudah dewasa. Sudah seksi. Teteknya 34. Pinggang ramping, kulit bersih.

Dia yang paling cantik di antara saudara istri saya. Pikiran saya mulai kotor. Menurut saya, akan lebih mudah sebenarnya menjebak Vira daripada Mbak Raina. Vira lebih terbuka, lebih manja.

Kalau cuma mencium pipi dan mengecup bibir sedikit, bukan hal yang sulit. Dulu saya sering mengecup pipinya. Tapi sejak dia kelihatan sudah dewasa, saya tak lagi melakukannya. Akhirnya sasaran jebakan saya beralih ke Vira.

Saya mencoba melupakan Mbak Raina. Sore selepas mandi saya rebahan di tempat tidur, dan kembali memasang jebakan untuk Vira. Saya berbulat hati untuk memancing dia. Ini hari terakhir istri saya up country. Artinya besok di kamar ini sudah ada istri saya. Saya elus perlahan-lahan penis saya hingga berdiri tegak.

Saya tidak membaca majalah. Saya seolah sedang onani. Saya pejamkan mata saya. Beberapa menit kemudian saya dengar pintu kamar berderit lembut. Ada yang membuka. Saya diam saja seolah sedang keasyikan onani. Tidak ada tanggapan. Saya melihat pintu dengan sudut mata yang terpicing. Sialan. Tak ada orang sama sekali.

Mungkin si Vira langsung kabur. Saya hampir saja menghentikan onani saya ketika dari mata yang hampir tertutup saya lihat bayangan. Segera saya mengelus-elus penis saya dengan agak cepat dan badan bergerak-gerak kecil.

Saya mencoba mengerling di antara picingan mata. Astaga! Kepala Mbak Raina di ambang pintu. Tapi kemudian bayangan itu lenyap. Lalu muncul lagi, hilang lagi, Kini tahulah saya, Mbak Raina sembunyi-sembunyi melihat saya.

Beberapa saat kemudian pintu ditutup, dan tak dibuka kembali sampai saya menghentikan onani saya. Tanpa mani keluar. Malamnya, di meja makan kami makan bersama-sama. Saya, kedua mertua, Mbak Raina, Vira dan kakak Vira, Rainang. Berkali-kali saya merasakan Mbak Raina memperhatikan saya.

Saya berdebar-debar membayangkan apa yang ada di pikiran Mbak Raina. Saya sengaja memperlambat makan saya. Dan ternyata Mbak Raina pun demikian.

Sehingga sampai semua beranjak dari meja makan, tinggal kami berdua. Selesai makan kami tidak segera berlalu. Piring-piring kotor dan makanan telah dibereskan Mak Jah, pembantu kami. "Dik Fredo kesepian ya? Suka begitu kalau kesepian?" Mbak Raina mebuka suara. Saya kaget. Dia duduk persis di kanan saya.

Dia memandangi saya. Matanya seakan jatuh kasihan kepada saya. Sialan. "Maksud Mbak May apaan sih?" saya pura-pura tidak tahu. "Tadi Mbak May lihat Dik Fredo ngapain di kamar. Sampai Dik Fredo nggak liat. Kalau sedang gitu, kunci pintunya. Kalau Vira atau Ibu lihat gimana?"

"Apaan sih?" saya tetap pura-pura tidak mengerti. "Tadi onani kan?" "Ohh." Saya berpura-pura malu. Perasaan saya senang bercampur gugup, menunggu reaksi Mbak Raina. Saya menghela nafas panjang.

Sengaja. "Yahh, Evi sudah tiga hari keluar kota. Pikiran saya sedang kotor. Jadi.." "Besok lagi kalau Evi mau keluar kota, kamu minta jatah dulu."

"Ahh Mbak May ini. Susah Mbak nunggu moodnya si Evi. Kadang pas saya lagi pengin dia sudah kecapekan."

"Tapi itu kan kewajiban dia melayani kamu?" "Saya tidak ingin dia melakukan dengan terpaksa." Kami sama-sama diam. Saya terus menunggu. Menunggu. Jantung saya berdegup keras.

"Kamu sering swalayan gitu?" "Yaa sering Mbak. Kalau pengin, terus Evi nggak mau, ya saya swalayan. Ahh udah aahh. Kok ngomongin gitu?" Saya pura-pura ingin mengalihkan pembicaraan.

Tapi Mbak Raina tidak peduli. "Gini lho Dik. Masalahnya, itu tidak sehat untuk perkawinan kalian. Kamu harus berbicara dengan Evi. Masa sudah punya istri masih swalayan." Mbak Raina memegang punggung tangan saya. "Maaf Mbak. Nafsu saya besar. Sebaliknya dengan Evi.

Jadi kayaknya saya yang mesti mengikuti kondisi dia." Kali ini saya bicara jujur. "Saya cukup puas bisa melayani diri sendiri kok."

"Kasihan kamu." Mbak Raina menyentuh ujung rambut saya, dan disibakkannya ke belakang. Saya memberanikan diri menangkap tangan itu, dan menciumnya selintas. Mbak Raina seperti kaget, dan buru-buru menariknya.

"Kapan kalian terakhir kumpul?" "Dua atau tiga minggu lalu," jawab saya. Bohong besar. Mbak Raina mendesis kaget. "Ya ampuun." "Mbak. Tapi Mbak jangan bilang apa-apa ke Evi. Nanti salah pengertian. Dikira saya mengadu soal begituan." Mbak Raina kembali menggenggam tangan saya. Erat, dan meremasnya. Isi celana saya mulai bergerak-gerak.

Kali ini saya yang menarik tangan saya dari genggaman Mbak Raina. Tapi Mbak Raina menahannya. Saya menarik lagi. Bukan apa-apa. Kali ini saya takut nanti dilihat orang lain.

"Saya horny kalau Mbak pegang terus." Mbak Raina tertawa kecil dan melepaskan tangan saya. Dia beranjak sambil mengucek-ucek rambut saya. "Kaciaann ipar Mbak satu ini." Mbak Raina berlalu, menuju ruang keluarga.

"Liat TV aja yuk," ajaknya. Saya memaki dalam hati. Kurang ajar betul. Dibilang saya horny malah cengengesan, bukannya bilang, "Saya juga nih, Dik." Setengah jengkel saya mengikutinya. Di ruang keluarga semua kumpul kecuali Vira.

Hanya sebentar. Saya masuk ke kamar. Sekitar pukul 23.00 pintu kamar saya berderit. Saya menoleh. Mbak Raina. Dia menempelkan telunjuknya di bibirnya. "Belum bobo?" tanyanya lirih. Jantung saya berdenyut keras.

"Belum." Jawab saya. "Kita ngobrol di luar yuk?" "Di sini saja Mbak." Saya seperti mendapat inspirasi. "Ihh. Di teras aja. Udah ngantuk belum?" Mbak Raina segera menghilang.

Dengan hanya bersarung telanjang dada dan CD saya mengikuti Mbak Raina ke teras. Saya memang terbiasa tidur bertelanjang dada dan bersarung.

Rumah telah senyap. TV telah dimatikan. Keluarga ini memang terbiasa tidur sebelum jam 22.00. Hanya aku yang betah melek. Mbak Raina mengenakan daster tanpa lengan. Ujung atas hanya berupa seutas tali tipis.

Daster kuning yang agak ketat. Saya kini memperhatikan betul lekuk tubuh perempuan yang berjalan di depan saya itu. Pantat menonjol. Singset. Kulitnya paling putih di antara semua sadaranya. Umurnya berselisih tiga tahun dengan Evi. Mbak Raina duduk di bangku teras yang gelap.

Bangku ini dulu sering saya gunakan bercumbu dengan Evi. Wajah Mbak Raina hanya terlihat samar-samar oleh cahaya lampu TL 10 watt milik tetangga sebelah. Itupun terhalang oleh daun-daun angsana yang rimbun.

Dia memberi tempat kepada saya. Kami duduk hampir berhimpitan. Saya memang sengaja. Ketika dia mencoba menggeser sedikit menjauh, perlahan-lahan saya mendekakan diri.

"Dik Fredo" Mbak Raina membuka percakapan. "Nasib kamu itu sebenernya tak jauh beda dengan Mbak." Saya mengernyitkan dahi. Menunggu Mbak Raina menjelaskan. Tapi perempuan itu diam saja. tangannya memilin-milin ujung rambut.

"Maksud Mbak apa sih?" "Tidak bahagia dalam urusan tempat tidur. Ih. Gimana sih." Mbak Raina mencubit paha saya. Saya mengaduh. Memang sakit, Tapi saya senang. Perlahan-lahan penis saya bergerak.

"Kok bisa?" "Nggak tahu tuh. Mas itu loyo abis." "Impoten?" Saya agak kaget.

"Ya enggak sih. Tapi susah diajakin. Banyak nolaknya. Malas saya. Perempuan kok dibegituin," "Hihihi.. Tadi kok kasih nasihat ke saya?" Saya tersenyum kecil.

Mbak Raina mencoba mendaratkan lagi cubitannya. Tapi saya lebih sigap. Saya tangkap tangan itu, dan saya amankan dalam genggaman. Saya mulai berani. Saya remas tangan Mbak Raina. Penis saya terasa menegang. Badan mulai panas dingin. Mungkinkan malam ini saya dan Mbak Raina..

"Terus cara pelampiasan Mbak gimana? Swalayan juga?" Tanya saya. Saya taruh sebelah tangan di atas pahanya. Mbak Raina mencoba menghindar, tapi tak jadi. "Enggak dong. Malu. Risih. Ya ditahan aja."

Kapan terakhir Mbak Raina tidur sama Mas Wib?" Saya mencium punggung tangan Mbak Raina. Lalu tangan itu saya taruh perlahan-lahan di antara pahaku, sedikit menyentuh penis.

"Dua minggu lalu." "Heh?" Saya menatap matanya. Bener enggak sih. Kok jawabannya sama dengan saya? Ngeledek apa gimana nih. "Bener." Matanya mengerling ke bawah, melihat sesuatu di dekat tangannya yang kugenggam. "Mbak.." Saya menyusun kekuatan untuk berbicara. Tenggorokan terasa kering. Nafsu saya mulai naik.

Perempuan ini bener-bener seperti merpati. Jangan-jangan hanya jinak ketika didekati. Saat dipegang dia kabur. "Hm," Mbak Raina menatap mata saya. "Mbak pengin?" Dia tak menjawab. Wajahnya tertunduk. Saya raih pundaknya.

Saya elus rambutnya. Saya sentuh pipinya. Dia diam saja. Sejurus kemudian mulut kami berpagutan. Lama. Ciuman yang bergairah. Saya remas bagian dadanya. Lalu tali sebelah dasternya saya tarik dan terlepas.

Mbak Raina merintih ketika jari saya menyentuh belahan dadanya. Secara spontan tangan kirinya yang sejak tadi di pangkuan saya menggapai apa saja. Dan yang tertangkap adalah penis. Dia meremasnya. Saya menggesek-gesekkan jari saya di dadanya. Kami kembali berciuman.

"Di kamar aja yuk Mbak?" ajak saya. Lalu kami beranjak. Setengah berjingkat-jingkat menuju kamar Mbak Raina. Kamar ini terletak bersebarangan dengan kamar saya. Di sebelah kamar Mbak Raina adalah kamar mertua saya. Malam itu tumpahlah segalanya. Kami bermain dengan hebatnya.

 Berkali-kali. Ini adalah perselingkuhan saya yang pertama sejak saya kawin. Belakangan saya tahu, itu juga perselingkuhan pertama Mbak Raina. Sebelum itu tak terbetik pikiran untuk selingkuh, apalagi tidur dengan laki-laki lain selain Mas Wib. Bermacam gaya kami lakukan. Termasuk oral, dan sebuah sedotan kuat menjelang saya orgasme.

Semprotan mani menerjang tenggorokan Mbak Raina. Itulah pertama kali mani saya diminum perempuan. Evi pun tidak pernah. Tidak mau. Jijik katanya. Menjelang pagi, saat tulang kami seperti dilolosi, saya kembali ke kamar. Tidur. Saya tidak berani mengulanginya lagi.

Perasaan menyesal tumpah-ruah ketika saya bertemu istri saya. Mungkin itu juga yang dirasakan Mbak Raina. Selepas itu dia mencoba menghindari pembicaraan yang menjurus ke tempat tidur. Kami bersikap biasa-biasa, seolah tidak pernah terjadi apa pun.

Ketika tidur di samping istri saya, saya berjanji dalam hati Tidak akan selingkuh lagi. Ternyata janji tinggal janji. Nafsu besar lebih mengusik saya. Terutama saat istri saya ke luar kota dan keinginan bersetubuh mendesak-desak dalam diri saya. Rasanya ingin mengulanginya dengan Mbak Raina. Tapi tampaknya mustahil.

Mbak Raina benar-benar tidak memberi kesempatan kepada saya. Dia tidak lagi mau masuk kamar saya. Jika ada perlu di menyuruh Vira, atau berteriak di luar kamar, memanggil saya. Bahkan mulai jarang menginap.

Akhirnya saya kembali ke sasaran awal saya. Vira. Mungkinkah saya menyetubuhi adik istri saya? Uhh. Mustahil. Kalau hamil? Beda dengan Mbak Raina. Kepada dia saya tidak ragu untuk mengeluarkan benih saya ke dalam rahimnya. Kalaupun hamil, tak masalah kan. Paling-paling kalau anaknya lahir dan mirip dengan saya yaa banyak cara untuk menepis tuduhan.

 Lagian masak sih pada curiga? Kehidupan terus berjalan. Usia kandungan istri saya menginjak bulan ke-4. Tahu sendirilah bagaimana kondisi perempuan kalau sedang hamil muda. Bawaannya malas melulu. Tapi untuk urusan pekerjaan dia sangat bersemangat.

Dia memang pekerja yang ambisius. Berdedikasi, disiplin, dan penuh tanggung jawab. Karena itu jadwal keluar kota tetap dijalani. Kualitas hubungan seks kami makin buruk. Dia seakan benar-benar tak ingin disentuh kecuali pada saat benar-benar sedang relaks.

Saya juga tak ingin memaksa. Karenanya saya makin sering beronani diam-diam di kamar mandi. Kadang-kadang saya kasihan terhadap diri sendiri. Kata-kata Mbak Raina sering terngiang-ngiang, terutama sesaat setelah sperma memancar dari penis saya. "Kacian adik iparku ini.." Tapi saya tak punya pilihan lain.

Saya tak suka "jajan". Maaf, saya agak jijik dengan perempuan lacur. Tiap kali beronani, yang saya bayangkan adalah wajah Mbak Raina atau si bungsu Vira, bergantian. Vira telah tumbuh menjadi gadis yang benar-benar matang.

Montok, lincah. Cantik penuh gairah, dan terkesan genit. Meskipun masih bersikap manja terhadap saya, tetapi sudah tidak pernah lagi bergayutan di tubuh saya seperti semasa saya ngapelin kakaknya. Saya sering mencuri pandang ke arah payudaranya.

Ukurannya sangat saya idealkan. Sekitar 34. Punya istri saya sendiri hanya 32. Seringkali, di balik baju seragam SMU-nya saya lihat gerakan indah payudara itu.

Keinginan untuk melihat payudara itu begitu kuatnya. Tapi bagaimana? Mengintip? Di mana? Kamar mandi kami sangat rapat. Letak kamar saya dengannya berjauhan. Dia menempati kamar di sebelah gudang. Yang paling ujung kamar Mak Jah, pembantu kami.

Setelah kamar Rainang, kakak Vira, baru kamar saya. Kamar kami seluruhnya terbuat dari tembok. Sehingga tak mugkin buat ngintip. Tapi tunggu! Saya teringat gudang. Ya, kalau tidak salah antara gudang dengan kamar Vira terdapat sebuah jendela. Dulunya gudang ini memang berupa tanah kosong semacam taman.

Karena mertua butuh gudang tambahan, maka dibangunlah gudang. Jendela kamar Vira yang menghadap ke gudang tidak dihilangkan. Saya pernah mengamati, dari jendela itu bisa mengintip isi kamar Vira.

Sejak itulah niat saya kesampaian. Saya sangat sering diam-diam ke gudang begitu Vira selesai mandi. Memang ada celah kecil tapi tak cukup untuk mengintip. Karenanya diam-diam lubang itu saya perbesar dengan obeng.

Saya benar-benar takjub melihat sepasang payudara montok dan indah milik Vira. Meski sangat jarang, saya juga pernah melihat kemaluan Vira yang ditumbuhi bulu-bulu lembut. Tiap kali mengintip, selalu saya melakukan onani sehingga di dekat lubang intipan itu terlihat bercak-bercak sperma saya.

Tentu hanya saya yang tahu kenapa dan apa bercak itu. Keinginan untuk menikmati tubuh Vira makin menggelayuti benak saya. Tetapi selalu tak saya temukan jalan. Sampai akhirnya malam itu. Mertua saya meminta saya mendampingi Vira untuk menghadiri Ultah temannya di sebuah diskotik. Ibu khawatir terjadi apa-apa.

Dengan perasaan luar biasa gembira saya antar Vira. Istri saya menyuruh saya membawa mobil. Tapi saya menolak. "Kamu kan harus detailing. Pakai saja. Masa orang hamil mau naik motor?" Padahal yang sebenarnya, saya ingin merapat-rapatkan tubuh dengan Vira. Kami berangkat sekitar pukul 19.00. Dia membonceng.

Kedua tangannya memeluk pinggang saya. Saya rasakan benda kenyal di punggung saya. Jantung saya berdesir-desir. Sesekali dengan nakal saya injak pedal rem dengan mendadak. Akibatnya terjadi sentakan di punggung. Saya pura-pura tertawa ketika Vira dengan manja memukuli punggung saya.

Mas Fredo genit," katanya. Pada suatu ketika, mungkin karena kesal, Vira bahkan tanpa saya duga sengaja menempelkan dadanya ke puggung saya. Menekannya. "Kalau mau gini, bilang aja terus terang," katanya. "Iya iya mau," sahut saya. Tidak ada tanggapan. Vira bahkan menggeser duduknya, merenggang. Sialan.

Malam itu Vira mengenakan rok span ketat dan atasan tank top, dibalut jaket kulit. Benar-benar seksi ipar saya ini. Di diskotik telah menunggu teman-teman Vira. Ada sekitar 15-an orang.

Saya membiarkan Vira berabung dengan teman-temannya. Saya memilih duduk di sudut. Malu dong kalau nimbrung. Sudah tua, ihh. Saya hanya mengawasi dari kejauhan, menikmati tubuh-tubuh indah para ABG.

Tapi pandangan saya selalu berakhir ke tubuh Vira. She is the most beautiful girl. Di antara saudara istri saya Vira memang yang paling cantik. Tercantik kedua ya Mbak Raina, baru Evi, istri saya. Rainang yang terjelek.

Tubuhnya kurus kering sehingga tidak menimbulkan nafsu. Sesekali Vira menengok ke arah tempat duduk saya sambil melambai. Saya tersenyum mengangguk. Mereka turun ke arena. Sekitar tiga lagu Vira menghampiri saya.

"Mas Fredo udah pesan minum?" tanyanya. Dagu saya menunjuk gelas berisi lemon tea di depan saya. Saya tak berani minum minuman beralkohol, meski hanya bir. Saya pun bukan pecandu.

"Kamu kok ke sini, udah sana gabung temen-temen kamu," kata saya. Janjinya Vira dkk pulang pukul 22.00. Tadi ibu mertua juga bilang supaya pulangnya jangan larut.

"Nggak enak liat Mas Fredo mencangkung sendirian," kata Vira duduk di sebelah saya.

"Sudah nggak pa-pa." "Bener?" Saya mengangguk, dan Vira kembali ke grupnya. Habis satu lagu, dia mendatangi saya.

Menarik tangan saya. Saya memberontak. "Ayo. Nggak apa-apa, sekalian saya kenalin ama temen-temen. Mereka juga yang minta kok." Saya menyerah. Saya ikut saja bergoyang-goyang. Asal goyang.

Dunia diskotik sudah sangat lama tidak saya kunjungi. Dulupun saya jarang sekali. Hampir tidak pernah. Saya ke diskotik sekedar supaya tahu saja kayak apa suasananya.

Sesekali tangan Vira memegang tangan saya dan mengayun-ayunkannya. Musik bener-benr hingar-bingar. Lampu berkelap-kelip, dan kaki-kaki menghentak di lantai disko. Sesekali Vira menuju meja untuk minum. Menjelang pukul 22.00 sebagian teman Vira pulang.

Saya segera mengajak Vira pulang juga. "Bentar dong Mas Fredo, please," kata Vira. Astaga. Tercium aroma alkohol dari mulutnya. "Heh. Kamu minum apa? Gila kamu. Sudah ayo pulang." Segera saya gelandang dia. "Yee Mas Fredo gitu deh." Dia merajuk tapi saya tak peduli. Ruangan ini mulai menjemukan saya. "Udah dulu ya bro, sis. Satpam ngajakin pulang neh."

"Satpam-mu itu." Saya menjitak lembut kepala Vira. Vira memang minum alkohol. Tak tahu apa yang diminumnya tadi.

Dia pun terlihat sempoyongan. Saya jadi cemas. Takut nanti kena marah mertua. Disuruh jagain kok tidak bisa. Tapi ada senangnya juga sih. Vira jadi lebih sering memeluk lengan saya supaya tidak sempoyongn.

Kami menuju tempat parkir untuk mengambil motor. Saya bantu Vira mengenakan jaket yang kami tinggal di motor. Saya bantu dia mengancing resluitingnya. Berdesir darah saya ketika sedikit tersentuk bukit di dadanya. "Hayoo, nakal lagi," katanya. "Hus. Nggak sengaja juga."

"Sengaja nggak pa-pa kok Mas." Omongan Vira makin ngaco. Dia tarik ke bawah resluitingnya. Dan sebelum saya berkomentar dia sudah berkata, "Masih gerah. Ntar kalau dingin Vira kancingin deh." Segera mesin kunyalakan, dan motor melaju meninggalkan diskotik SO.

Sungguh menyenangkan. Vira yang setengah mabuk ini seakan merebahkan badannya di punggung saya. Kedua tangannya memeluk erat perut saya. Jangan tanya bagaimana birahi saya. Penis saya menegang sejak tadi. Dagu Virru disadarkan ke pundak saya.

Lembut nafasnya sesekali menyapu telinga saya. Saya perlambat laju motor. Benar-benar saya ingin menikmati. Lalu saya seperti merasa Vira mencium pipi saya. Saya ingin memastikan dengan menoleh. Ternyata memang dia baru saja mencium pipi saya.

Bahkan selanjutnya dia mengecup pipi saya. Saya kira dia benar-benar mabuk. "Mas Fredo, Vira pengin pacaran dulu," katanya mengejutkan saya.

"Pacaran sama Mas Fredo? Gila kamu ya." Penis saya makin kencang.

"Mau enggak?" "Kamu mabuk ya?" Dia tak menjawab. Hanya pelukannya tambah erat.

"Mas.."

"Hmm" "Mas masih suka coli?"

"Hus. Napa sih?"

"Pengen tahu aja. Mbak Evi nggak mau melayani ya?"

"Tahu apa kamu ini." Saya sedikit berteriak. Saya kaget sendiri. Entah kenapa saya tidak suka dia omong begitu, Mungkin reflek saja karena saya dipermalukan.

"Sorry. Gitu aja marah." Vira kembali mencium pipi saya. Bahkan dia tempelkan terus bibirnya di pipi saya, sedikit di bawah telinga.

"Saya horny Virr."

"Kapan? Sekarang? Ahh masak. Belum juga diapa-apain" Saya raih tangannya dan saya taruh di penis saya yang menyodok celana saya. Terperanjat dia. Tapi diam saja. Tangannya merasakan sesuatu bergerak-gerak di balik celana saya.

"Pacaran ama Vira mau nggak?" kata Vira. Aroma alkohol benar-benar menyengat. "Di mana? Lagian udah malam. Nanti Ibu marah kalau kita pulang kemalaman."

"Kalau ama Mas Fredo dijamin Ibu gak marah."

"Sok tahu."

"Bener. Ayuk deh. Ke taman aja.

Tuh deket SMA I ajak. Asyik lagi. Bentar aja." Tanpa menunggu perintah, motor saya arahkan ke Taman KB di seberang SMU I. Taman ini memang arena asyik bagi mereka yang seang berpacaran.

Meski di sekitarnya lalu lintas ramai, tapi karena gelap, yaa tetap enak buat berpacaran. Kami mencari bangku kosong di taman. Sudah agak sepi jadi agak mudah mencarinya. Biasanya cukup ramai sehingga banyak yang berpacaran di rumputan.

Begitu duduk. Langsung saja Vira merebahkan kepalanya di dada saya. Saya tak mengira anak ini akan begini agresif. Atau karena pengaruh alkohol makin kuat? Entahlah. Kami melepas jaket dan menaruhnya di dekat bangku. "Kamu kan belum punya pacar, kok sudah segini berani Virr?" tanya saya

"Enak aja belum punya pacar." Dia protes. "Habis siapa pacar kamu?" Saya genggam tangannya. Dia mengelus-elus dada saya. "Yaa ini." Dia membuka kancing kemeja saya. Saya makin yakin dia diracuni alkohol. Tapi apa peduli saya. Inilah saatnya. Saya kecup keningnya.

Matanya. Hidung, pipi, lalu bibirnya. Dia tersentak, dan memberikan pipinya. Saya kembali mencari bibirnya. Saya kecup lagi perlahan. Dia diam. Saya kulum. Dia diam saja. Benarkah anak ini belum pernah berciuman bibir dengan cowok?

"Kamu belum pernah melakukan ya?" kata saya. Dia tak menjawab. Saya cium lagi bibirnya. Saya julurkan lidah saya. Tangannya meremas pinggang saya. Saya hisap lidahnya, saya kulum. Tangan saya kini menjalar mencari payudara.

 Dia menggelinjang tetapi membiarkan tangan saya menyusiup di antara celah BH-nya. Ketika saya menemukan bukit kenyal dan meremasnya, dia mengerang panjang. Kedua kakinya terjatuh dari bangku dan menendang-nendang rumputan. Saya buka kancing BH-nya yang terletak di bagian depan.

Saya usap-usap lembut, ke kiri, lalu ke kanan. Saya remas, saya kili-kili. Dia mengaduh. Tangannya terus meremasi pinggang dan paha saya. "Mas Fredo.." "Hmm" "Please.. Please." Saya mengangsurkan muka saya menciumi bukit-bukit itu. Dia makin tak terkendali. Lalu, srrt srrt..srrt.

Sesuatu keluar dari penis saya. Busyet. Masa saya ejakulasi? Tapi benar, mani saya telah keluar. Anehnya saya masih bernafsu. Tidak seperti ketika bersetubuh dengan Evi. Begitu mani keluar, tubuh saya lemas, dan nafsu hilang.

Saya juga masih merasakan penis saya sanggup menerima rangsangan. Saya masih menciumi payudara itu, menghisap puting, dan tangan saya mengelus paha, menyelinap di antara celap CD. Membelai bulu-bulu lembut. Menyibak, dan merasakan daging basah. Mulut Vira terus mengaduh-aduh. Saya rasakan kemaluan saya digeggamnya.

Diremas dengan kasar, sehingga terasa sakit. Saya perlu menggeser tempat duduk karena sakitnya. Agaknya dia tahu, dan melonggarkan cengkeramannya. Lalu dia membuka resluiting celana saya, merogoh isinya. Meremas kuat-kuat. Tapi dia berhenti sebentar. "Kok basah Mas?" tanyanya. Saya diam saja.

"Ehh,ini yang disebut mani ya?" Sejenak situasi kacau. Ini anak malah ngajak diskusi sih. Dia cium penis saya tapi tidak sampai menempel. Kayaknya dia mencoba membaui.

"Kok gini baunya ya? Emang kayak gini ya

 "Heeh," jawab saya lalu kembali memainkan kelaminnya. "Asin juga ya?"

Dia mengocok penis saya dengan tangannya. "Pelan-pelan Virr. Enakan kamu ciumin deh," kata saya. Tanpa perintah lanjutan Vira mencium dan mengulum penis saya. Uhh, kasarnya minta ampun, Tidak ada enaknya. Jauhh dengan yang dilakukan Mbak Raina.

Berkali-kai saya meminta dia untuk lebih pelan. Bahkan sesekali dia menggigit penis saya sampai saya tersentak. Akhirnya saya kembali ejakulasi. Bukan oleh mulutnya tapi karena kocokan tangannya.

Setelah itu sunyi. Saya lemas. Saya benahi pakaian saya. Dia juga membenahi pakaiannya. Tampaknya dia telah terbebas dari pengaruh alkohol. Wajahnya yang belepotan mani dibersihkan dengan tissu.

"Makasih pelajarannya ya Mas." Dia mengecup pipi saya.

"Tapi kamu janji jaga rahasia kan?" Saya ingin memastikan.

"Iyaah. Emang mau cerita ama siapa? Bunuh diri?"

"Siapa tahu. Pokoknya just for us! Nobody else may knows." Dia mengangguk. Kami bersiap-siap pulang. Sepanjang perjalanan dia memeluk erat tubuh saya. Menggelendot manja. Dan pikiran waras saya mulai bekerja.

Saya mulai dihinggapi kecemasan. "Virr.." "Yaa"

"Kamu nggak jatuh cinta ama Mas Fredo kan? Everyting just for sex kan?" "Tahu deh."

"Please Virr. Kita nggak boleh keterusan. Anggap saja tadi kita sedang mabuk.

" Saya menghentikan motor. "Iya deh."

"Bener ya? Ingat, Mas Fredo ini suami Mbak Evi.

" Dia mengangguk mengerti.

"Makasih Virr." Saya kembali menjalankan motor.

"Apa yang terjadi malam ini, tidak usahlah terulang lagi," kata saya.

Saya benar-benar takut sekarang. Saya sadari, Vira masih kanak-kanak. Masih labil. Dia amat manja. Bisa saja dia lepas kendali dan tak mengerti apa arti hubungan seks sesaat. Lalu saya dengar dia sesenggukan. Menangis. Untunglah dia menepati janji. =

Segalanya berjalan seperti yang saya harapkan. Saya tak berani lagi mengulangi, meskipun kesempatan selalu terbuka dan dibuka oleh Vira. Saya benar-benar takut akibatnya.

Saya tidak mau menhancurkan keluarga besar istri saya. Tak mau menghancurkan rumah tangga saya. Saya hanya menikmati Vira di dalam bayangan. Ketika sedang onani atau ketika sedang bersetubuh dengan Evi. Sesekali saja saya membayangkan Mbak Raina. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top